AN UNBIASED VIEW OF KISAH SUKSES ANDY UTAMA: MENGUBAH PARADIGMA

An Unbiased View of Kisah Sukses Andy Utama: Mengubah Paradigma

An Unbiased View of Kisah Sukses Andy Utama: Mengubah Paradigma

Blog Article

: Mengintroduksi predator atau parasitoid alami yang memakan hama dapat membantu mengendalikan populasi hama.

Tingginya keanekaragaman tanaman pertanian adalah salah satu penciri pertanian organik. Pertanian konvensional fokus pada produksi massal hasil pertanian tunggal di lahan, yang disebut dengan monokultur. Dalam ekologi pertanian diketahui bahwa polikultur (penanaman berbagai jenis tanaman pada satu ahan) lebih menguntungkan dan lebih sering diterapkan di pertanian organik.

Keduanya memiliki kelebihan dan tantangan tersendiri. Dalam artikel ini, kita akan membahas perbedaan antara menulis untuk penerbit dan menulis untuk lomba, serta …

Pemkab Cianjur pun terus berupaya menyosialisasikan dan memberdayakan para petani agar tak terlalu menggantungkan terhadap penggunaan pupuk kimia. Upaya itu di antaranya dengan melaksanakan berbagai method.

Pilarpertanian - Pestisida kimia saat ini masih banyak dijadikan sebagai pilihan petani untuk mengendalikan Organisme Pengganggu Tumbuhan (Decide) karena mudah diperoleh dan praktis. Namun demikian, jika digunakan secara masif dan tidak bijaksana dapat menyebabkan rusaknya agroekosistem.

Sebelum memulai proyek mengubah garasi menjadi tempat tinggal, penting untuk menilai potensi ruang yang ada. Garasi umumnya memiliki struktur yang cukup kuat, tetapi perlu penyesuaian untuk menjadikannya ruang hunian.

Berapa kata yang sebaiknya ada dalam sebuah judul? Ini adalah pertanyaan klasik yang sering diajukan penulis. Untuk membuat judul buku nonfiksi, idealnya judul terdiri dari one hingga 4 kata.

Berikut adalah beberapa masalah dan solusi yang bisa dilakukan untuk penerapan pertanian organik di Indonesia.

Pertanian dengan memanfaatkan ekologi hutan pada kebun hutan merupakan salah satu sistem produksi pangan pada masa prasejarah yang dipercayai merupakan pemanfaatan ekosistem pertanian yang pertama.[3]

Sebuah surver yang dilakukan di Irlandia dan Britania Raya menemukan bahwa pertanian organik mempekerjakan lebih banyak tenaga kerja dibandingkan pertanian konvensional. Perbedaan ini terlihat jelas pada ukuran lahan usaha tani yang lebih besar.

Bagian terakhir tulisan Achdian, yaitu “1965”, seharusnya tidak diletakkan sebagai bab “penutup”. Bagian ini justru merupakan awal dari “perkenalan” kita untuk membaca pemikiran Ong dan berdialog dengannya untuk memahami ke-Indonesia-an dalam dirinya. Kuncinya terletak pada paragraf terakhir buku ini, yakni cerita tentang Ong muda saat duduk di bangku sekolah menengah Belanda (HBS), Surabaya, dan dihadapkan pada sebuah dilema: memilih Belanda ataukah Indonesia.

Mentan Amran berharap, pemerintah daerah dan pengambil kebijakan terkait menjadi perpanjangan tangan dari pemerintah pusat untuk mendukung method tersebut. Sehingga periksa di sini perlu dilakukan akselerasi agar investor ini tidak pindah ke lain hati.

Membaca buku ini seolah kita sedang berdialog dan dihadapkan dengan Ong, dengan seluruh kegelisahan intelektualnya sepanjang kariernya sebagai sejarawan, sekaligus membuka celah mengungkap lahan persoalan yang belum digarap Ong. Achdian memang tak merinci apa saja warisan intelektual Ong yang harus dirawat, dilihat lagi, dan dipertanyakan kesahihannya. Akan tetapi, justru di sana sesungguhnya kehadiran buku ini memiliki makna bagi sidang pembaca tentang pentingnya Ong atau Onghokham bagi kita hingga hari ini.

Seolah Ong memberi pesan penting melalui Achdian dalam buku ini bahwa kekinian sesungguhnya mempunyai akar di masa lalu dan sejarah menjadi wahana untuk membaca dan memahami kekinian itu. Pandangan Ong dan pengalamannya tentang dua topik terakhir yang disinggung di atas, yakni mengenai masalah Tionghoa dan peristiwa 1965, memang tak lepas dari pengalamannya. Menurut Achdian, Ong jarang membicarakan masalah Tionghoa di Indonesia dan justru lebih suka berdiskusi tentang soal sejarah dinasti atau penyatuan China. Bagi Achdian, “minimnya” perhatian Ong pada masalah Tionghoa di Indonesia juga tercermin dari tulisannya yang banyak berkutat seputar persoalan di luar masyarakat Tionghoa, misalnya masyarakat Samin, runtuhnya kolonialisme Belanda, dan perubahan sosial di Madiun pada abad ke-19.

Report this page